News Update :

Terkini

News Update :
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Peristiwa

http://wartamassa.blogspot.com/

Politik

Pendidikan

Kesehatan

Siaran Pers IPA Sumut : Terkait RSPO, Negara Dikalahkan Korporasi Sawit

Minggu, 15 Desember 2013

Kota Medan, Sumatera Utara kembali menjadi tuan rumah dalam membicarakan kebijakan-kebijakan ekonomi tingkat tinggi dunia. Setelah sebelumnya menjadi tuan rumah pada pertemuan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) dalam Senior Official Meeting ke 3 di Medan pada 22 Juni-6 Juli 2013 yang lalu, kemudian menjadi tuan rumah RSPO 11th Annual Roundtable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11), pertemuan tentang minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia, yang tergabung dalam RSPO (Roundtable Sustainable on Palm Oil ) yang akan diselenggarakan pada tanggal 11-14 November 2013.
 
Jika kita amati secara makro, agenda-agenda internasional ini berhubungan tidak jauh dari kebijakan pemerintah kita yang sangat permisif terhadap agenda ekonomi internasional, yang memberikan kebebasan kepada pasar.  “Mengapa di Sumatera Utara?” Karena Sumatera Utara telah ditetapkan melalui berbagai regulasi khususnya dalam hal pengembangan ekonomi oleh pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono saat ini, salah satunya yaitu proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang fokus pelaksanaannya adalah pembangunan dan perluasan investasi ekonomi sektor rill serta infrastruktur pendukung konsep perdagangan bebas. Dimana sejatinya rencana tersebut merupakan program yang akan menciptakan kondisi negara Indonesia semakin kehilangan kedaulatannya secara sosial, budaya, dan ekonomi melalui berbagai investor-investor asing. Bahkan faktanya MP3EI secara nasional yang terdiri dari 6 koridor pembangunan telah menetapkan nilai investasi sampai Rp. 4000 Triliun. Selain itu pemerintah kita juga bahkan sampai menawarkan bebas pajak khususnya untuk Uni Lever yang bahan pokok produksinya adalah minyak sawit jika ikut berinvestasi di Sumut.
RSPO pada awalnya dikonsep untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas yang terkait dengan sawit dari hulu ke hilir agar berkelanjutan. Tujuannya agar Hak dan penghidupan masyarakat setempat, buruh dan petani sawit terkena dampak terjamin, dilindungi dan meningkat lebih baik dalam produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan prinsip dan kriteria RSPO. Konsep RSPO ini awalnya digagas oleh WWF dan Migros. Namun, seberapa baikpun tujuan pembentukan RSPO tersebut, IPA Sumut memandangnya bukan sebagai solusi dari konflik yang lahir dari ekspansi sawit. RSPO hanyalah instrument yang dibuat untuk dan oleh pasar yang melihat absennya peran negara dalam melindungi rakyatnya dari ekspansi korporasi sawit.
Ekspansi Sawit dan Menurunnya Petani Pangan
Sebagaimana kita ketahui, harga minyak dan inti sawit relatif terus meningkat dalam 20 tahun terakhir. Permintaan minyak dan inti sawit terus meningkat, khususnya dari  Eropa, Amerika, China dan India. Dua negara terakhir menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yang angka produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton. China menampung 6,65 juta ton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012. 
Indonesia memproduksi 50% dari produksi global minyak sawit, menikmati 9,11 miliar US Dollar atau sekitar 12 persen dari total pendapatan pemerintah tahun 2011.  Komoditi ini diprediksi akan terus menjanjikan keuntungan, karena kandungan minyak nabati yang jauh lebih besar dibanding  tanaman lain seperti kedelai, dan jagung. Hal ini memicu ekspansi yang hebat, baik di Asia tenggara, maupun daerah tropis di Afrika dan Amerika. Di Indonesia sendiri, luas perkebunan sawit dalam 20 tahun terakhir meningkat pesat dari hanya sekitar 500.000 hektar tahun 1990-an, menjadi 12 juta hektar tahun 2012 (Sawit Watch, 2013). Pemerintah Indonesia dan pengusaha sawit yang bernafsu untuk melakukan ekspansi bahkan telah memperkirakan masih tersedianya stok lahan hampir 30 juta hektar lagi untuk sawit.
Dengan keanggotaan yang berjumlah 842 perusahaan/organisasi per Mei 2012, RSPO mengalami kemajuan yang sangat pesat secara keorganisasian dan secara manajemen. Padahal konferensi pertama RSPO di Malaysia pada tahun 2003 hanya dihadiri oleh 200 anggota dari 16 negara. Dengan perkembangan pesat ini, bukan berarti RSPO telah menyelesaikan permasalahan dalam mata rantai sawit berkelanjutan. Meskipun pengaruh RSPO dalam memastikan keberlanjutan, hak-hak buruh, dan masyarakat adat telah diakui oleh beberapa stakeholder sawit, namun kenyataannya konflik yang timbul tidak dapat di reduksi.
Kita selalu membaca di surat kabar cetak dan elektronik bagaimana Komunitas lokal, petani dan masyarakat adat terus tergusur karena pencaplokan tanah untuk perkebunan sawit, peningkatan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia (KPA, 2011). Pada tahun 2007 konflik yang berkaitan dengan perkebunan sawit tercatat 514 kasus, bandingkan dengan jumlah konflik tahun 2010 yang meningkat menjadi 663 kasus (Sawit Watch). Dari sekitar 4 juta buruh kebun sawit skala besar, hanya sepertiga yang berstatus buruh tetap, selebihnya adalah buruh harian lepas, dan kernet yang tidak terdokumentasi, tidak digaji layak, serta bekerja dengan basis target (KPS, 2011).
Hal tersebut membuktikan bahwa RSPO bukanlah jawaban dari persoalan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Meningkatnya konflik agraria yang dihadapi petani akan diikuti dengan meningkatnya konflik perburuhan. Konversi lahan pertanian pangan menjadi perkebunan sawit tentulah akan mengurangi jumlah petani. Karena secara massif, angka petani Indonesia saat ini menurun, rumah tangga petani dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Dalam 10 tahun kita kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Menurunnya angka petani ini pasti akan menyumbang defisitnya hasil pertanian mereka yang mayoritas menanam bahan pangan. Dengan penurunan angka petani ini, maka krisis pangan akan meningkat dan jumlah buruh di sektor sawit akan meningkat tajam. 
Jika negara kalah, maka generasi saat ini akan mempersembahkan suatu sistem  perbudakan yang akan dinikmati oleh anak cucu kita dikemudian hari. Perkebunan sawit akan menjadi milik korporasi-korpirasi yang memiliki hak guna sampai puluhan bahkan ratusan tahun tanpa batas. Manusia yang lahir di kemudian hari tidak lagi berkesempatan memiliki perkebunan sawit, mereka hanya bisa menjadi buruh di perusahaan sektor sawit. Berkelanjutan dalam bisnis dan berkelanjutan dalam menciptakan buruh-buruh yang harus mengabdi pada korporasi sawit. Sementara negara hanya sibuk dengan menghitung pajak industri sawit tersebut tanpa pernah bertindak merebutnya dari tangan-tangan rakus yang bertopengkan pasar bebas.
Untuk itu, dalam menyikapi pertemuan RT 11 RSPO yang akan diselenggarakan di Medan, Sumatera Utara, kami dari IPA Sumut menyerukan sikap sebagai berikut:
1.       Negara telah gagal mewujudkan Undang-Undang Dasar 1945 pasalnya yang ke 33 yang menyatakan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang terjadi saat ini adalah korporasi sawit dengan bebas menguasai tanah negara dan  dengan cara mengusir dan memenjarakan rakyat yang seharusnya disejahterakan. Negara membiarkan hutan dibabat untuk sawit, bahkan negara melindungi korporasi sawit dengan aparatnya dengan dalih pengamanan investasi. Kementerian Kehutanan, 2011 menyebutkan potensi kerugian negara akibat izin pelepasan kawasan hutandi 7 (tujuh) propinsi di Indonesia diprediksi merugikan negara hampir Rp 273 Triliun. Kerugian negara timbul akibat pembukaan 727 unit perkebunan seluas hampir 8 juta Hektar dan 1.722 unit pertambangan seluas hampir 9 juta Hektar.
2.      Bahwa pertemuan RSPO di Medan Sumatera Utara pada Round Table yang ke 11 bukanlah suatu solusi atas konflik yang disebabkan oleh ekspansi sawit, RSPO merupakan suatu politik balas budi dari korporasi yang sudah merampas terlalu banyak tanah rakyat dan merupakan turunan dari pola produksi pasar bebas yang tercentral dalam konsolidasi  para kapitalis monopoli internasional. Untuk itu kami menyerukan kepada para pihak yang menjadi peserta pertemuan tersebut untuk memaksimalkan kerja-kerja pembelaan terhadap rakyat yang berkonflik dengan korporasi perkebunan sawit.
3.      Hentikan merampas tanah rakyat dengan dalih hukum  rakyat tidak memiliki alas hak atas tanahnya. Penegakan hukum harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada korporasi. Adalah tugas negara untuk menyiapkan alas hak atas tanah rakyat, mendistribusikan tanah kepada rakyat dari monopoli penguasaan tanah oleh para korporasi-korporasi besar sebagai penyebab hancurnya perekonomian seluruh rakyat serta  melindunginya dari kerakusan korporasi sawit.
4.   Negara harus membela rakyat yang bersengketa dengan lahirnya Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/HTI) dan izin pertambangan yang dikeluarkan, sengketa yang terjadi antara lain: di sektor perkebunan melibatkan PTPN II dan III versus petani yang tergabung di dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu (BPRPI), kelompok tani maju jaya Sei Mencirim, PT Smart versus Kelompok Tani Padang Halaban Labuhan Batu, rakyat desa Pergulaan dengan PT PP Lonsum di Serdang Bedagai,  PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) di Padang Lawas, dan kelompok tani lainnya,  konflik di sektor kehutanan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas tanah adat (ulayat) di kabupaten Humbahas, Simalungun, Toba Samosir,  Tapanuli Selatan), pembabatan hutan oleh PT GDS di kabupaten Samosir,  Kasus hutan TNGL, dan di sektor pertambangan antara lain PT Sorik Mas Mining di kabupaten Madina, PT Dairi Prima Mineral di kabupaten Dairi, PT Agin Court Resource – Martabe di Batang Toru, dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Sarulla. 
Medan, 11 November 2013
Ranto Sibarani
Koordinator IPA Sumatera Utara (Indonesian  People Alliance’s)
Email: ransibar@gmail.com  HP: 081370161508

Buruh Tangerang Raya Tuntut Revisi Kenaikan Upah Minimum 2014

Buruh Tangerang Raya Tuntut Revisi Kenaikan Upah Minimum 2014
Hari ini Selasa, 3 Desember 2013// ribuan buruh di Kota, Kabupaten Tangerang, Tangerang Selatan serta wilayah Serang Propinsi Bànten mengelar aksi serentak menuntut revisi kenaikan upah minimum 2014.
 
Aksi ribuan buruh ini melumpuhkan wilayah Tangerang Raya Propinsi Banten, dimana aksi ini dilatarbelakangi oleh penentuan upah minimum 2014 yang di nilai oleh para buruh dan serikat buruh tidak sesuai dengan kebutuhan real hidup buruh untuk hidup pada tahun 2014 mendatang, karena upah minimum tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2014 mendatang.
Amin Mustolih koordinator KP GSBI Tangerang menyatakan bahwa aksi ini akan terus berlanjut jika Walikota, Bupati maupun Gubernur Banten tidak menghiraukan tuntutan para buruh.
Sementara itu Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP GSBI) di Jakarta melalui Ismet Inoni Kepala Departemen Hukum dan Advokasi DPP GSBI juga mendesak para Walikota dan Bupati se propinsi Banten serta Gubernur Banten untuk memperhatikan tuntutan para buruh dengan melakukan revisi atas UMK maupun UMP yang telah ditetapkan beberapa waktu lalu oleh gubernur Banten.

Melalui ini pula Ismet menyerukan kepada para buruh dan serikat buruh untuk bersatu padu dalam bekerja dan berjuang dalam mendesak para bupati, walikota maupun gubernur Banten untuk melakukan revisi terhadap upah minimum untuk tahun 2014.
Lebih lanjut Ismett menyampaikan tuntutan para buruh atas revisi upah minimum propinsi tangerang adalah wajar dan pantas dilakukan oleh gubernur Banten.
Selain itu Ismet juga mendesak aparat keamanan untuk tidak melakukan tindakan refresif atas aksi para buruh di propinsi Banten hari ini dan kemungkinan akan terus berlanjut jika apa yang menjadi harapan para buruh diabaikan oleh pemerintah kota, kabupaten dan propinsi Banten tegas Ismet.  
http://www.infogsbi.com/2013/12/buruh-tangerang-raya-tuntut-revisi.html

FMN Ditolak Terlibat Dalam Sidang WTO


BALI, KabarKampus - Rencana Front Mahasiswa Nasional (FMN) untuk terlibat dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke – 9 dan WTO pada tanggal 3 – 6 Desember 2013 harus kandas. Pasalnya secara sepihak panitia menolak memberikan tanda pengenal peserta KTM ke 09 WTO kepada FMN.
Peristiwa tersebut berlangsung pada Pada 30 November. Ketika itu L. Muh Harry Sandy Ame, Sekretaris Jenderal FMN, datang ke Hotel Santika untuk mengambil kartu tanda pengenal peserta KTM 9 WTO. Namun di loket pengambilan tanda pengenal petugas yang bertanggung jawab menolak untuk memberikan tanda pengenal tersebut tanpa mendapatkan penjelasan terkait penolakan.
Kemudian, Muh Harry Sandy berusaha untuk mendapatkan keterangan yang jelas kepada petugas loket agar memanggil koordinator registrasinya. Saat itu Gantory, salah satu petugas dari kementerian Luar Negeri RI menemuinya dan mengatakan bahwa pencabutan terhadap keterlibatan FMN tersebut diputuskan dalam rapat lintas kementerian, Polri, TNI, dan BIN.

Menurut Sandy, berdasarkan pernyataan Gantosari, FMN tidak boleh terlibat dalam kegiatan tersebut karena dua alasan, pertama, pandangan dan Sikap FMN yang kritis dan melawan WTO, kedua FMN dianggap merupakan ancaman terhadap keamanan terhadap KTM 9 WTO.

“Kalau FMN dianggap merupakan ancaman terhadap keamanan KTM 9 WTO, maka ini memperlihatkan pandangan dan sikap WTO yang anti demokrasi dan pemerintahan SBY yang Fasis” jelas Sandy.

Sandy menjelaskan, bahwa mereka memang memandang WTO sebagai ancaman terhadap masa depan pendidikan dan hak pendidikan pemuda mahasiswa serta seluruh warga negara. “Atas dasar inilah mengapa kami ingin menyerukan hal tersebut kepada WTO yang akan bersidang,” jelas Sandy.
Sementara itu Yogo, aktivis FMN menambahkan, bahwa ia menyayangkan dicabutnya akreditasi FMN tersebut, Pasalnya dua minggu sebelumnya mereka telah mengikuti prosedur WTO. Dan secara resmi telah diterima secara resmi dalam forum tersebut. Namun justru dibatalkan secara sepihak.
“Hal ini menujukkan WTO yang katanya ajang demokrasi namun ternyata tidak menunjukkan demokrasi sama sekali,” kata Yogo

diambil dari : http://kabarkampus.com/2013/12/fmn-ditolak-terlibat-dalam-sidang-wto/

17 Organisasi Mahasiswa Makassar Demo Tolak WTO "Hentikan liberalisasi pertanian, pendidikan, dan kesehatan."

Senin, 2 Desember 2013, 13:11 
VIVAnews - Setidaknya 17 organisasi perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan,Senin 2 Desember 2013, berunjukrasa menolak penyelenggaraan forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Forum konferensi tingkat menteri ini akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 3 - 6 Desember 2013.

Dalam aksi yang digelar di bawah jembatan layang perempatan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Andi Pangerang Pettarani itu mereka menuntut pembubaran segala bentuk kerjasama WTO.

"Hentikan juga liberalisasi pertanian, pendidikan, dan kesehatan," kata Ferdy, salah orator aksi itu.

Mahasiswa juga meminta pelaksanaan reformasi agraria sejati, serta penghapusan upah murah bagi para buruh.

Unjuk rasa ini juga disertai dengan aksi teatrikal yang menggambarkan kehadiran WTO tidak pernah membawa kebaikan Indonesia, bahkan mempersulit rakyat kecil.

"Kami meminta agar penyelenggaraan WTO segera diberhentikan karena berdampak buruk bagi rakyat," kata Ferdy.

Kendati digelar beberapa kelompok mahasiswa,  aksi ini berlangsung damai dan tertib. Mereka hanya mendapat pengawalan ketat dari sejumlah aparat kepolisian.
Sebagaimana luas diberitakan bahwa pemerintah berambisi meningkatkan perdagangan di sektor perikanan melalui kerja sama perdagangan internasional WTO. Dalam forum pertemuan antar menteri perdagangan di Bali, Indonesia akan menonjolkan produk ikan tuna.

"Ikan tuna yang paling banyak dibutuhkan," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo.

Sharif mengatakan, sektor perdagangan produk perikanan tidak mengalami kendala yang berarti akibat krisis. Selain itu, menurut dia, negara-negara di dunia masih kekurangan pangan, terutama sektor perikanan.

http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/463084-17-organisasi-mahasiswa-makassar-demo-tolak-wto

IPA: No More Deal, Junk WTO Dukung India dengan Semangat Dasa Sila Bandung


Nusa Dua, 6 Desember 2013. Jelang berakhirnya sidang WTO kebuntuan negosiasi tentang Paket Bali masih berlanjut. Dimotori India dan sejumlah negara Afrika masih mempersoalkan isu tentang kemudahan perdagangan ( trade fasilitation) isu-isu pertanian dan pembangunan bagi negara-negara kurang berkembang ( LDCs).

Kebuntuan ini disambut baik oleh masyarakat sipil yang tergabung dalam Indonesia People Alliance yang tengah juga melakukan kegiatan di PGC. Ahmad SH juru bicara IPA menyatakan bahwa kebuntuan ini membuktikan tarik menarik kepentingan nasional masing-masing negara yang semakin kuat. “Ini bicara soal kedaulatan, menyediakan dan memenuhi pangan untuk dalam negeri adalah bentuk perlawana terhadap agenda liberalisasi WTO. Jelas dengan ini membuktikan bahwa tidak ada yang dapat dipertahankan, oleh karenanya sejalan dengan tuntutan IPA bahwa WTO harus di bubarkan”. Tambah Ahmad
Dalam konferensi pers pagi ini, dijelaskan bahwa kebuntuan dalam negosiasi ini memungkinkan perundingan akan berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Irhash Ahmady dari Wahana LIngkungan Hidup Indonesia yang juga anggota IPA menyatakan bahwa apa yang dilakukan India merupakan konsep dari perdagangan yang mengabdi kepada rakyat. Memberikan jaminan dan perlindungan negara terhadap rakyatnya. Hal ini sungguh berbeda dengan Gita W sebagai ketua delegasi Indonesia, upaya lobi kepada India yang dilakukan adalah tindakan yang memalukan bangsa dan rakyat Indonesia. “ Indonesia semestinya mengikuti langka India dan menjadi bagian dari negara berkembang menghadapi tekanan negara Utara khususnya Amerika, ini malah jadi pelobby AS terhadap India untuk dapat menyepakati Paket Bali” tandasnya.
Indonesia People Alliance yang juga sedang mengadakan kegiatan di People Global Camp /PGC menyambut kebuntuan ini dengan menyerukan tekanan dan aksi massa di seluruh daerah di Indonesia. Khusus bagi wilayah yang memiliki kantor perwakilan negara maju di Indonesia akan dikepung oleh massa dan menuntut pembubaran WTO. Rudi HB Daman sebagai Steering Comitte PGC IPA yang juga Ketua Gabungan Serikat Buruh Independen/GSBI menyatakan, momentum ini juga menjadi jalan persatuan bagi rakyat dunia untuk melawan agenda Libelasasi dan harus menolak Paket Bali sebagai jalan keluar krisis ekonomi di Negara Maju terutama AS. “Tidak ada lagi negosiasi dalam WTO, Hentikan Lobi yang dilakukan delegasi Indonesia kepada India dan bangun solidaritas antar negara berkembang dengan semangat Dasa Sila Bandung”, tandas Rudi.
Pada hari terakhir kegiatan PGC di Bali, IPA sendiri melaksanakan kegiatan aksi massa di depan Konjen AS, diperkirakan lebih dari 1000 massa akan menduduki konjen AS di Bali, Medan, Jakarta, Makasar sedangkan aksi lain juga berlangsung di 34 Kota/Kabupaten di Indonesia.

Ekonomi

http://wartamassa.blogspot.com/2013/12/siaran-pers-ipa-sumut-terkait-rspo.html
 

© Copyright wartamassa 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.