Kota Medan,
Sumatera Utara kembali menjadi tuan rumah dalam membicarakan
kebijakan-kebijakan ekonomi tingkat tinggi dunia. Setelah sebelumnya menjadi
tuan rumah pada pertemuan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) dalam Senior
Official Meeting ke 3 di Medan pada 22 Juni-6 Juli 2013 yang lalu, kemudian
menjadi tuan rumah RSPO 11th Annual
Roundtable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11), pertemuan tentang minyak
sawit berkelanjutan terbesar di dunia, yang tergabung dalam RSPO (Roundtable Sustainable on Palm Oil )
yang akan diselenggarakan pada tanggal 11-14 November 2013.
Jika kita amati
secara makro, agenda-agenda internasional ini berhubungan tidak jauh dari
kebijakan pemerintah kita yang sangat permisif terhadap agenda ekonomi
internasional, yang memberikan kebebasan kepada pasar. “Mengapa di Sumatera Utara?” Karena Sumatera
Utara telah ditetapkan melalui berbagai regulasi khususnya dalam hal
pengembangan ekonomi oleh pemerintah dibawah rezim SBY-Boediono saat ini, salah
satunya yaitu proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang fokus pelaksanaannya adalah pembangunan dan perluasan
investasi ekonomi sektor rill serta infrastruktur pendukung konsep perdagangan
bebas. Dimana sejatinya rencana tersebut merupakan program yang akan
menciptakan kondisi negara Indonesia semakin kehilangan kedaulatannya secara
sosial, budaya, dan ekonomi melalui berbagai investor-investor asing. Bahkan
faktanya MP3EI secara nasional yang terdiri dari 6 koridor pembangunan telah
menetapkan nilai investasi sampai Rp. 4000 Triliun. Selain itu pemerintah kita
juga bahkan sampai menawarkan bebas pajak khususnya untuk Uni Lever yang bahan
pokok produksinya adalah minyak sawit jika ikut berinvestasi di Sumut.
RSPO pada awalnya dikonsep
untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas yang terkait dengan sawit dari hulu ke
hilir agar berkelanjutan. Tujuannya agar Hak dan penghidupan masyarakat
setempat, buruh dan petani sawit terkena dampak terjamin, dilindungi dan
meningkat lebih baik dalam produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan
prinsip dan kriteria RSPO. Konsep RSPO ini awalnya digagas oleh WWF dan Migros.
Namun, seberapa baikpun tujuan pembentukan RSPO tersebut, IPA Sumut
memandangnya bukan sebagai solusi dari konflik yang lahir dari ekspansi sawit.
RSPO hanyalah instrument yang dibuat untuk dan oleh pasar yang melihat absennya
peran negara dalam melindungi rakyatnya dari ekspansi korporasi sawit.
Ekspansi Sawit dan Menurunnya Petani Pangan
Sebagaimana kita
ketahui, harga minyak dan inti sawit relatif terus meningkat dalam 20 tahun
terakhir. Permintaan minyak dan inti sawit terus meningkat, khususnya dari Eropa, Amerika, China dan India. Dua negara
terakhir menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yang angka
produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton. China menampung 6,65 juta
ton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012.
Indonesia
memproduksi 50% dari produksi global minyak sawit, menikmati 9,11 miliar US
Dollar atau sekitar 12 persen dari total pendapatan pemerintah tahun 2011. Komoditi ini diprediksi akan terus
menjanjikan keuntungan, karena kandungan minyak nabati yang jauh lebih besar
dibanding tanaman lain seperti kedelai,
dan jagung. Hal ini memicu ekspansi yang hebat, baik di Asia tenggara, maupun
daerah tropis di Afrika dan Amerika. Di Indonesia sendiri, luas perkebunan
sawit dalam 20 tahun terakhir meningkat pesat dari hanya sekitar 500.000 hektar
tahun 1990-an, menjadi 12 juta hektar tahun 2012 (Sawit Watch, 2013).
Pemerintah Indonesia dan pengusaha sawit yang bernafsu untuk melakukan ekspansi
bahkan telah memperkirakan masih tersedianya stok lahan hampir 30 juta hektar
lagi untuk sawit.
Dengan keanggotaan
yang berjumlah 842 perusahaan/organisasi per Mei 2012, RSPO mengalami kemajuan
yang sangat pesat secara keorganisasian dan secara manajemen. Padahal
konferensi pertama RSPO di Malaysia pada tahun 2003 hanya dihadiri oleh 200
anggota dari 16 negara. Dengan perkembangan pesat ini, bukan berarti RSPO telah
menyelesaikan permasalahan dalam mata rantai sawit berkelanjutan. Meskipun
pengaruh RSPO dalam memastikan keberlanjutan, hak-hak buruh, dan masyarakat
adat telah diakui oleh beberapa stakeholder sawit, namun kenyataannya konflik
yang timbul tidak dapat di reduksi.
Kita selalu membaca
di surat kabar cetak dan elektronik bagaimana Komunitas lokal, petani dan
masyarakat adat terus tergusur karena pencaplokan tanah untuk perkebunan sawit,
peningkatan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia (KPA, 2011). Pada tahun
2007 konflik yang berkaitan dengan perkebunan sawit tercatat 514 kasus,
bandingkan dengan jumlah konflik tahun 2010 yang meningkat menjadi 663 kasus
(Sawit Watch). Dari sekitar 4 juta buruh kebun sawit skala besar, hanya
sepertiga yang berstatus buruh tetap, selebihnya adalah buruh harian lepas, dan
kernet yang tidak terdokumentasi, tidak digaji layak, serta bekerja dengan
basis target (KPS, 2011).
Hal tersebut
membuktikan bahwa RSPO bukanlah jawaban dari persoalan rakyat Indonesia yang
mayoritas adalah petani. Meningkatnya konflik agraria yang dihadapi petani akan
diikuti dengan meningkatnya konflik perburuhan. Konversi lahan pertanian pangan
menjadi perkebunan sawit tentulah akan mengurangi jumlah petani. Karena secara
massif, angka petani Indonesia saat ini menurun, rumah tangga petani dari 31,17
juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Dalam 10
tahun kita kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. Menurunnya angka petani
ini pasti akan menyumbang defisitnya hasil pertanian mereka yang mayoritas
menanam bahan pangan. Dengan penurunan angka petani ini, maka krisis pangan
akan meningkat dan jumlah buruh di sektor sawit akan meningkat tajam.
Jika negara kalah,
maka generasi saat ini akan mempersembahkan suatu sistem perbudakan yang akan dinikmati oleh anak cucu
kita dikemudian hari. Perkebunan sawit akan menjadi milik korporasi-korpirasi
yang memiliki hak guna sampai puluhan bahkan ratusan tahun tanpa batas. Manusia
yang lahir di kemudian hari tidak lagi berkesempatan memiliki perkebunan sawit,
mereka hanya bisa menjadi buruh di perusahaan sektor sawit. Berkelanjutan dalam
bisnis dan berkelanjutan dalam menciptakan buruh-buruh yang harus mengabdi pada
korporasi sawit. Sementara negara hanya sibuk dengan menghitung pajak industri
sawit tersebut tanpa pernah bertindak merebutnya dari tangan-tangan rakus yang
bertopengkan pasar bebas.
Untuk itu, dalam
menyikapi pertemuan RT 11 RSPO yang akan diselenggarakan di Medan, Sumatera Utara,
kami dari IPA Sumut menyerukan sikap sebagai berikut:
1. Negara telah gagal mewujudkan
Undang-Undang Dasar 1945 pasalnya yang ke 33 yang menyatakan bahwa bumi dan air,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang terjadi saat ini
adalah korporasi sawit dengan bebas menguasai tanah negara dan dengan cara mengusir dan memenjarakan rakyat
yang seharusnya disejahterakan. Negara membiarkan hutan dibabat untuk sawit,
bahkan negara melindungi korporasi sawit dengan aparatnya dengan dalih
pengamanan investasi. Kementerian Kehutanan, 2011 menyebutkan potensi kerugian
negara akibat izin pelepasan kawasan hutandi 7 (tujuh) propinsi di Indonesia
diprediksi merugikan negara hampir Rp 273 Triliun. Kerugian negara timbul
akibat pembukaan 727 unit perkebunan seluas hampir 8 juta Hektar dan 1.722 unit
pertambangan seluas hampir 9 juta Hektar.
2. Bahwa pertemuan RSPO di Medan
Sumatera Utara pada Round Table yang ke 11 bukanlah suatu solusi atas konflik
yang disebabkan oleh ekspansi sawit, RSPO merupakan suatu politik balas budi
dari korporasi yang sudah merampas terlalu banyak tanah rakyat dan merupakan
turunan dari pola produksi pasar bebas yang tercentral dalam konsolidasi para kapitalis monopoli internasional. Untuk
itu kami menyerukan kepada para pihak yang menjadi peserta pertemuan tersebut
untuk memaksimalkan kerja-kerja pembelaan terhadap rakyat yang berkonflik
dengan korporasi perkebunan sawit.
3. Hentikan merampas tanah rakyat
dengan dalih hukum rakyat tidak memiliki
alas hak atas tanahnya. Penegakan hukum harus berpihak kepada rakyat, bukan
kepada korporasi. Adalah tugas negara untuk menyiapkan alas hak atas tanah
rakyat, mendistribusikan tanah kepada rakyat dari monopoli penguasaan tanah
oleh para korporasi-korporasi besar sebagai penyebab hancurnya perekonomian
seluruh rakyat serta melindunginya dari
kerakusan korporasi sawit.
4. Negara harus membela rakyat yang
bersengketa dengan lahirnya Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan/Tanaman
Industri (HPH/HTI) dan izin pertambangan yang dikeluarkan, sengketa yang
terjadi antara lain: di sektor perkebunan melibatkan PTPN II dan III versus
petani yang tergabung di dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB), Badan Perjuangan Rakyat
Penunggu (BPRPI), kelompok tani maju jaya Sei Mencirim, PT Smart versus
Kelompok Tani Padang Halaban Labuhan Batu, rakyat desa Pergulaan dengan PT PP Lonsum
di Serdang Bedagai, PT Sumatera Riang
Lestari (PT SRL) di Padang Lawas, dan kelompok tani lainnya, konflik di sektor kehutanan yang dilakukan
oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas tanah adat (ulayat) di kabupaten Humbahas,
Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli
Selatan), pembabatan hutan oleh PT GDS di kabupaten Samosir, Kasus hutan TNGL, dan di sektor pertambangan
antara lain PT Sorik Mas Mining di kabupaten Madina, PT Dairi Prima Mineral di
kabupaten Dairi, PT Agin Court Resource – Martabe di Batang Toru, dan
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Sarulla.
Medan, 11 November 2013
Ranto Sibarani
Koordinator IPA Sumatera Utara (Indonesian People Alliance’s)
Email: ransibar@gmail.com HP: 081370161508